Segerombolan anak kecil memindahkan biji atau batu kecil dari telapak yang satu ke telapak yang lain. Hal itu dilakukan di atas punggung temannya yang posisinya tengkurap. Jadi punggung temannya itu dijadikan meja permainan. Sambil bermain mereka menyanyikan lagu Cublak-cublak Suweng.
cublak suweng suwengira,
sigelenter mambu ketundhung mundhing,
empak empong lira-liru,
iyeku swasananta,
mlebu metu ingaran lira-liru,
ing suwung kang mengku ana,
mungguh sajroning ngaurip
(Sunan Kalijaga)
Setelah lagu itu selesai, batu yang diputarkan sudah berada di salah satu tangan seorang anak. Temannya yang tengkurap kemudian menebak kira-kira siapa yang memegang batu itu. Jika tebakannya benar, maka posisinya tengkurap digantikan oleh temannya yang telah ditebak tersebut.
Hidup dan nafas tidak dapat dipisahkan. Lukisan nafas bisa dirunut dari pengertian kata Cublak yang artinya wadah, suwenge berasal dari kata suwung (ruang yang berudara tapi sepi/ sunyi), sigelenter maksudnya jalan terus tiada henti, mundhing yaitu kerbau atau gudel (anak kerbau). Kalau diartikan semuanya adalah manusia hidup mesti ada nafas yang keluar masuk karena manusia itu bodoh seperti kerbau, karena tidak dapat melihat semua tadi padahal sudah jelas ada, ada yang tidak kelihatan atau tampak. Padahal nafas itu ada di dalam tubuh manusia. Keluar masuk tadi sebenarnya sudah biasa, tetapi manusia tidak sadar atau memahami yang sebenarnya ada yang mengatur nafas tadi, yaitu Allah Yang Maha Melihat. Disitulah di bulan puasa itu manusia diminta dan disuruh untuk sadar terhadap asal usul sehingga menambah bekal ibadah kepada Allah. Oleh karena itu manusia didalam menghadapai kehidupan ini harus dapat memegang hakekat hidup, hidup tidak harus senang-senang saja, hidup itu harus dijalani dengan rasa senang. Jangan suka berlebihan, nanti akan menimbulkan lupa diri. Yang lebih baik memahami asal usul kejadian, manusia akan mendapatkan kesadaran yang lebih kalau hidup itu harus dijalani dengan ibadah.
Kemajuan teknologi di zaman modern ini telah mengubah perilaku masyarakat terutama anak-anak. Permainan tradisional yang dulu sering kita jumpai di setiap sudut kampung kini tak ada lagi. Sebagai gantinya anak-anak sudah dimanjakan dengan permainan modern. Padahal dolanan dan permainan anak tradisional memiliki filosofi tinggi dan bermanfaat bagi perkembangan sekaligus pertumbuhan anak. Ada beberapa hal menarik dari sejumlah dolanan anak. Permainan anak selalu melahirkan suasana suka cita. Di dalam permainan ini jiwa anak akan terlihat secara penuh. Suasana suka cita yang dibangun akan melahirkan dan menghasilkan kebersamaan yang tidak dimiliki permainan modern. Inilah benih guyub rukun yang akan tumbuh di masyarakat. Jika saat ini dolanan anak sudah mulai menghilang tetapi kita masih dapat menemukan dokumen-dokumennya. Di dalam dokumen itu kita bisa melihat bagaimana adiluhungnya permainan tradisional di kala itu. Baik dolanan yang menggunakan alat maupun dolanan anak tanpa alat. Semua masih tersimpan lengkap di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Menurut staf Tata Usaha Museum Sonobudoyo, Kirdiono, di dalam perpustakaan museum masih tersimpan dokumen dolanan anak. Tak kurang dari puluhan koleksi dokumen dolanan anak, baik tentang jenis, alat yang digunakan hingga filosofinya. Namun sayangnya akibat gempa bumi 27 Mei 2006 bangunan perpustakaan mengalami kerusakan. Hingga saat ini bangunan perpustakaan yang berada di belakang museum masih sedang diperbaiki yang diperkirakan akan selesai Januari. ”Karena masih direhab untuk sementara perpustakaan ditutup. Mungkin akan dibuka kembali Januari 2008,” jelasnya kepada KR. Selain koleksi dokumen dolanan anak di museum tersebut juga pernah diselenggarakan pameran dolanan anak se-Jawa pada tahun 1983. Semua dolanan anak dipamerkan dalam event itu. Anak-anak juga memperagakan sejumlah dolanan anak dihadapan para pengunjung. Dikisahkannya, sebelum otonomi daerah Museum Sonobudoyo ini berada di bawah koordinasi pemerintah pusat. Namun setelah otonomi daerah diambil alih oleh Pemprop DIY. Ketika masih dipegang oleh pusat, museum ini menjadi salah satu dari 3 museum besar di Jawa. Suatu kehormatan bagi Museum Sonobudoyo menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan itu.
Selain dokumen tentang dolanan anak koleksi sejumlah permainan untuk anak juga tersimpan di sini, antara lain alat permainan anak dakon dan wayang. Saat KR mengunjungi museum itu sejumlah mahasiswa dari Universitas Jendral Soedirman Purwokerto tengah asyik mengamati dakon. Ingatan mereka melayang ke masa kecil mengenang permainan tradisional ini. Dakon merupakan salah satu dolanan anak yang menggunakan alat, seperti halnya egrang, bekel, benthik, gangsing dll. Sementara yang tidak menggunakan alat masih banyak lagi, antara lain jamuran, jethungan, cublak-cublak suweng dan lain-lain. Semua permainan ini sangat lekat di hati anak-anak kala itu ketika teknologi belum merambah. Setiap dolanan anak memiliki makna tersendiri. Mungkin orang tidak akan pernah tahu apa hubungan antara dakon dengan kecermatan melihat. Dengan menggunakan biji sawo (kecik) kita baru menyadari kecermatan itu sangat diperlukan untuk mengisi lubang-lubang kayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar